TEMPO.CO, Jakarta -Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dhyatmika mengatakan ekosistem media digital di tanah air dipandang belum ideal untuk membangun jurnalisme yang berkualitas.
Menurutnya, ekosistem digital saat ini masih menyamaratakan dengan publisher pembuat konten sehingga tidak melihat isi atau kualitas medianya. Ia mencontohkan model bisnis programmatic ads atau iklan otomatis, yang diukur hanya berdasar pageview. Kondisi ini, katanya, mendorong media untuk melupakan isi berita dan hanya fokus pada apa yang diinginkan pembacanya untuk mencari klik sebanyak-banyaknya, tanpa mempertimbangkan kualitas berita.
“Jangan sampai perubahan ekosistem media, membuat publik kehilangan sumber informasi yang terpercaya” kata Wahyu Dhyatmika, saat diskusi publik tentang Tantangan dan Peluang Media Digital, yang diselenggarakan Tempo Institute, dalam rangka mengawali kegiatan Pelatihan (bootcamp) Media Digital Program Independent Media Accelerator (IMA), Selasa, 19 Juli 2022, dikutip dari siaran pers yang diterima Tempo, Kamis.
Jika itu terjadi, lanjutnya, publik tidak bisa lagi membedakan mana fakta yang terverifikasi, opini, hoaks atau, kabar info berbayar. Alhasil, publik tidak bisa merumuskan sebuah pendapat yang berdasarkan informasi yang faktual.
Wahyu Dhyatmika juga memaparkan ekosistem aspek penting lainya antara lain adaptasi teknologi, adaptasi format, dan adaptasi mindset, supaya roh independen itu tidak sampai hilang. Dengan banyaknya kemunculan media digital, media cenderung lebih suka membuat berita yang hanya disukai khalayak tanpa ada unsur edukasi atau kritisnya.
Setali tiga uang Ketua Umum Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Sasmito Madrim juga melihat kualitas jurnalisme masih menjadi persoalan. Indikasinya dapat dilihat, dari banyaknya laporan yang masuk ke Dewan Pers. Dalam satu tahun terakhir setidaknya ada 600 laporan terkait ketidakprofesionalan atau soal kode etik jurnalistik.
Ia mengungkapkan kualitas media dan kualitas jurnalisme tidak bisa disama-ratakan. Sebab pola kaderisasi dan pembinaan jurnalis beragam. Ada media yang saat menerima wartawannya harus melalui proses pelatihan, tapi tak jarang media menerjunkan langsung wartawan mudanya ke lapangan tanpa pelatihan.
“Di satu sisi, banyak juga media yang tampil dengan keunikannya, seperti halnya Project Multatuli, Konde, Magdalene dan sebagainya,” papar Sasmito.
Menurut Wahyu di tengah persaingan yang ketat sebuah media memang harus memiliki diferensiasi yang kuat. Ia melihat tiga media itu memang memiliki visi yang jernih, apa yang akan mereka lakukan, jenis jurnalisme apa yang mereka ingin sajikan, dan segmen audiens seperti apa yang ingin mereka layani.
“Kita ingin melihat media tersebut dalam 3-5 tahun ke depan, apa inovasi tersebut memiliki nafas panjang?” terangnya.